Sejarah Muara Angke Jakarta




Kota Jakarta dengan luas 661,52 km per segi memiliki beberapa kawasan hijau yang berfungsi sebagai Ruang Terbuka Hijau bagi warganya. Dari areal yang tersisa tersebut, terdapat areal hutan mangrove dengan luas total 160 Ha di
Hutan mangrove Muara Angke terdapat menjadi tiga jenis kawasan, yaitu Suaka Margasatwa Muara Angke (25,05 Ha), Hutan Lindung Angke Kapuk (44,76 Ha), dan Taman Wisata Alam Angke Kapuk (99,82 Ha).



Hutan mangrove Muara Angke ditumbuhi 9 jenis tumbuhan mangrove sejati dan dihuni sedikitnya oleh 91 jenis burung. Diantaranya dapat ditemui Bubut jawa Centropus Nigrorufous dan Cerek Jawa Charadrius javanicus yang merupakan burung Endemik Jawa.
Kata “angke” berasal dari bahasa Hokkian, yakni “ang” yang berarti merah dan “ke” yang berarti sungai atau kali. Nama tersebut untuk mengenang peristiwa pembantaian warga Tionghoa Batavia oleh Belanda pada tahun 1740. Akibat peristiwa tersebut warna sungai yang semula jernih berubah menjadi merah bercampur darah.

Sekitar awal abad ke-16 kerajaan Banten mengirim pasukan untuk membantu kerajaan Demak yang sedang menggempur benteng Portugis di sunda Kelapa (Jakarta sekarang). Sungai di mana pasukan Tubagus Angke bermarkas kemudian dikenal sebagai Kali Angke dan daerah yang terletak di ujung sungai ini disebut Muara Angke.

Pencemaran air yang disebabkan oleh limbah padat dan cair di Kali Angke memberikan dampak yang besar bagi hutan Mangrove di Muara Angke. Hasil pemantauan BPLHD DKI tahun 2005 menunjukan bahwa beberapa indikator pencemaran limbah cair telah melebihi ambang batas, contohnya phospat yang terukur 0,67 mg/liter, ambang batas 0,5 mg/liter. Surfaktan yang terukur 1,27 mg/liter, ambang batas 0,5 mg/liter. Kedua parameter tersebut merupakan indikator pencemaran air yang disebabkan oleh limbah limbah rumah tangga.
Posted on 18.38 by Quest Crew and filed under | 0 Comments »

0 komentar:

Posting Komentar